Jumat, 27 Oktober 2017

PESAN TERPAHAT DARI CANDI SUKUH

relief – relief yang terpahat di candi Sukuh menyimpan makna yang menggambarkan tentang tekat, keteguhan, dan ketulusan. Relief candi ini terbagi menjadi empat  yaitu Fragmen Garudeya, Fragmen Sudhamala, Fragmen Bima Bungkus, dan Nawaruci.       

a.      Fragmen Garudeya
Relief ini terletak di depan bangunan utama agak ke selatan, pada sudut kiri atas terdapat prasasti dalam huruf  berbunyi padamel rikang buku tirta sunya =1361 Saka. Pemahatan relief ini bersumber dari Kitab Mahabharata bagian pertama (Adiparwa).
Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa yang salah.
Sang  Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka. Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas. Sang Kadru yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.
Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan atau meruwat ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para naga, maka ibunya akan dibebaskan atau diruwat. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.
Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta amerta. Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti dari pada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang panji-panjiku”. Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.
Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum tirta amertha namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena merasa sudah menebus perbudakan ibunya.
Terdapat juga Prasasti yang ada di bagian belakang arca garuda dalam posisi berdiri merupakan prasasti panjang dengan angka tahun 1363 Çaka. Bunyi prasasti itu adalah sebagai berikut :
lawase rajeg wesi duk pinerp kapeteg dene wong medang ki hempu rama karubuh alabuh geni harbut bumi kacaritane babajang mara mari setra hanang tang bango 1363Ç

b.      Fragmen Sudamala
Relief ini terletak di bagian selatan pelataran teras ketiga dan bersumber dari Kidung Sudhamala. Cerita Sudamala mengisahkan tentang Sadhewa, salah satu dari satria kembar di antara kelima satria Pandawa, yang berhasil meruwat (menghilangkan kutukan) dalam diri Dewi Uma, istri Bathara Guru. Dewi Uma dikutuk oleh suaminya karena tidak dapat menahan kemarahannya terhadap suaminya yang minta untuk dilayani pada saat yang menurutnya kurang layak. Karena menunjukkan kemarahan yang meluap-luap, Sang Dewi dikutuk dan berubah wujud menjadi seorang raksasa bernama Bathari Durga. Bathari Durga yang menyamar sebagai Dewi Kunthi, ibu para Pandawa, mendatangi Sadewa dan meminta satria itu untuk meruwat dirinya. Kisah tersebut dituangkan dalam lima panel relief.
Relief pertama menggambarkan Dewi Kunti palsu yang merupakan penyamaran Bathari Durga yang mendatangi Sadewa dan meminta satria itu ‘meruwat’ (menghilangkan kutukan) dirinya. Relief kedua menggambarkan ketika Bima, kakak Sadewa, berperang dengan seorang raksasa. Tangan kiri Bima mengangkat tubuh raksasa, sedangkan tangan kanannya menancapkan kuku Pancanaka (senjata pusaka Bima) ke perut lawannya.

Pada relief kedua juga terdapat prasasti lengkap dengan angka tahun, dipahat pada sudut kiri atas. Prasasti itu terdiri atas tiga baris. Bunyi prasasti itu adalah sebagai berikut : Padamel rikang buku tirta sunya 1361.
Relief ketiga menggambarkan Sadewa, yang menolak untuk ‘meruwat’ Bathari Durga, diikatkan ke sebuah pohon. Di hadapannya berdiri Bathari Durga yang mengancamnya dengan menggunakan sebilah pedang. Relief keempat menggambarkan pernikahan Sadewa dengan Dewi Pradhapa yang dianugerahkan kepadanya karena berhasil ‘meruwat’ Bathari Durga. Relief kelima menggambarkan Sadewa beserta pengiringnya menghadap Dewi Uma yang telah berhasil diruwat.

c.       Fragmen Bima Bungkus
Dewi Kunti melahirkan bayi Bima di hutan Mandalasana di atas batu kumalasana yaitu sebuah batu kali atau batu sungai yang besar. Anehnya bayi Bima terlahir masih terbungkus kulit ari yang luar biasa kuat, liat dan tak bisa sobek. Itu membuat ayahnya, yaitu Pandu dan seluruh keluarganya resah dan bingung. Segenap alat dan senjata tak mampu menyobek atau memecahkan kulit ari yang membungkus bayi Bima.
Abiyasa kakek Bima sudah mengetahui bahwa proses kelahiran Bima yang terbungkus itu sebetulnya merupakan proses penggemblengan dari para dewa agar Bima nantinya akan menjadi ksatria sejati penegak dharma. Abiyasa meminta Dewi Kunti dan seluruh dayangnya meninggalkan hutan itu dan membiyarkan bayi Bima sendirian di atas Batu.
Di Balai Marcukundha-kahyangan para dewa sedang membicarakan kelahiran Bima. Bethara Guru dan permaisurinya Bethari Uma dihadap Bethara Narada, Bethara Bayu, Gajahsena, dan dewa lainnya. Bethara Guru memutuskan mengutus Bethari Uma, Bethara Narada, Bethara Bayu, dan Gajahsena supaya turun ke hutan Mandalasana dan membuka kulit ari yang membungkus bayi Bima.
Rombongan para dewa itu sampailah di hutan Mandalasana, mereka menemukan bayi Bima yang masih terbungkus kulit ari tergeletak di atas batu besar tanpa ada yang menunggu. Bethari Uma segera melaksanakan perintah Bethara Guru, ia menembus masuk ke dalam kulit ari bayi Bima tersebut secara gaib dan memasang pakaian “Busana Bang Bintulu” kepada si bayi.
Setelah itu Bethara Narada memerintahkan Gajahsena merobek bungkus bayi itu dengan gadingnya. Gajah putih menusukkan gadingnya, dengan sekali tusuk, kulit pembungkus bayi itu robek. Keluarlah bayi dari pembungkusnya dan sudah berpakaian poleng. Terkena udara bebas, Bima mendadak tumbuh besar menjadi seorang pemuda. Tanpa diduga si bayi menendang dengan keras gajah putih yang berdiri di hadapannya. Gajahsena terpental terkena tendangan Bima, gajah itu berubah menjadi asap dan masuk ke dalam tubuh Bima, menyatu menjadi kesaktian Bima.

d.      Fragmen Nawaruci
Relief Nawaruci / Bima Suci  yang terpahat di candi sukuh merupakan sebuah cerita yang bersumber dari Kitab Nawaruci atau disebut juga Kitab Sang Hyang Tattwajnana karya Empu Siwamurti, ditulis antara tahun 1500-1619 Masehi menggunakan bahasa Jawa Tengahan yaitu bahasa yang muncul saat kejayaan Majapahit.
Fragmen ini mengisahkan Bima mencari tirta pawitra sari (air suci) atas petunjuk Durna.  Air suci itu berarti bahwa Bima ingin menyatu kembali kepada asalnya (Moksa).  Air suci tidak ditemukan tidak di jagad gedhe namun ada di dalam diri Bima sendiri, yang digambarkan dengan wujud Bima Kathik yang disebut Dewaruci. Pada saat Bima berada di gua garbha Dewaruci ia melihat samudra agung tanpa batas (samudra minang kalbu), ia tidak mengetahui arah dan menemukan kekosongan (awang uwung). Kekosongan tersebut sebagai lambang kedewataan yang disadari Bima bahwa pada hakikatnya ia berasal dari Tuhan.
Ketika itu Bima merasa kecil bila berhadapan dengan Dewaruci. Hal ini memberikan pemahaman bahwa manusia sangat kecil sekali, baik kekuasannya, kepandaiannya, kebijaksanaannya, keberadaannya bila berhadapan dengan Tuhan, sebagai konsekuensinya manusia harus secara sadar berhubungan, manembah,pasrah sumarah kepada Sang Hyang Wenang dengan jalan manusia harus berbuat sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Pada waktu Bima berada di gua garbha Dewaruci ia menyaksikan berbagai peristiwa seperti:
(1) Pada raga manusia terdapat panca indra yang mampu menanggapi ciptaan-Nya. Tanggapan akan ciptan- Nya tersimpan rapi di dalam hati sanubari manusia, yang menjadi wadah semua tanggapan itu dalam bentuk bayangan beraneka warna. Warna  itulah simbol isi hati sanubari jiwa manusia sebagai pola-pola pengalaman kehidupan manusia (sastra cetha tanpa tulis), menuntun raga manusia menuju kemuliaan sejati.
(2) Catur Warnasebagai pencerminan pangkal batin manusia dan mewarnai perangai manusia, yaitu terdiri dari:
(a) warna hitam lambang kegelapan, kebodohan, dan kegusaran
 (b) warna merah melambangkan tindakan yang didasarkan atas hawa nafsu dan tidak bijaksana
 (c) warna kuning melambangkan tindakan manusia menuju ke perusakan dan merintangi keselamatan
 (d) warna putih melambangkan kesucian dan kebahagian sejati.

Jadi melalui fragmen Bima Suci/Dewaruci/Nawaruci yang ada di Candi Sukuh kita dapat memahami bahwa keberadaan manusia di dunia tidaklah ada dengan sendirinya namun diciptakan Tuhan. Sifat Tuhan adalah transenden, sedangkan manusia sebagai mahluk adalah imanen. Manusia sekali waktu perlu ber – nawaruci yaitu nutupi babahan hawa sanga (= nawa) = menutupi sembilan lubang yang ada dalam diri manusia agar menjadi suci dan “mati sajroning urip, urip sajroning mati” atau dengan kata lain melaksanakan Brata (mengekang hawa nafsu) agar bisa bersatu  dengan Tuhannya.

Dengan tekat dan bathin yang kuat juga hati yang bersih, Garudeya, Sadewa, dan Bima berhasil menuntaskan tugasnya. Semoga pesan dari relief yang ada di candi Sukuh dapat menjadi bekal bagi seluruh umat manusia, dan tidak di salah artikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Candi Plaosan Lambang Toleransi dan Cinta Sejati

Jawa Tengah adalah salah satu privinsi di Pulau Jawa yang menyimpan jutaan sejarah tentang peradaban umat manusia. Betapa tidak, letaknya...