relief – relief yang terpahat di candi
Sukuh menyimpan makna yang menggambarkan tentang tekat, keteguhan, dan
ketulusan. Relief candi ini terbagi menjadi empat yaitu Fragmen Garudeya,
Fragmen Sudhamala, Fragmen Bima Bungkus, dan Nawaruci.
a. Fragmen Garudeya
Relief
ini terletak di depan bangunan utama agak ke selatan, pada sudut kiri atas
terdapat prasasti dalam huruf
berbunyi padamel rikang buku tirta sunya =1361 Saka. Pemahatan
relief ini bersumber dari Kitab Mahabharata bagian pertama (Adiparwa).
Dikisahkan,
pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar
kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran
Gunung Mandara atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda
tersebut putih semua, sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut
berwarna putih sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda pendapat,
mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi budak. Mereka
berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus menentukan siapa
yang salah.
Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut
kepada anak-anaknya. Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan
kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka. Sang Kadru pun cemas karena
merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan
bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak
untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas. Sang Kadru
yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara
pengorbanan ular yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya
anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke
ekor kuda Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam.
Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi
budaknya.
Sementara
itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa
yang kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada
akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga.
Sang Garuda membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah
berlari kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa
yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan atau meruwat ibunya. Para naga
menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para naga,
maka ibunya akan dibebaskan atau diruwat. Sang Garuda menyanggupi permohonan
tersebut.
Singkat
cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat
tirta amerta. Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu
datang dan bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta
tersebut, mintalah kepadaku, nanti pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab,
“Tidak selayaknya jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti dari
pada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya
tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu
berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus
menjadi lambang panji-panjiku”. Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut
sehingga akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang
membawa tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta tersebut diberikan
kepada para naga. Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan
kalau para naga sudah selesai mandi.
Sampailah
Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum
tirta amertha namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum
jika para naga mandi terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat
yang diberikan, tetapi setelah selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi
karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga kecewa dan hanya mendapati
beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para naga pun
menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang
pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda
terbang ke surga karena merasa sudah menebus perbudakan ibunya.
Terdapat juga Prasasti yang ada di bagian
belakang arca garuda dalam posisi berdiri merupakan prasasti panjang dengan
angka tahun 1363 Çaka. Bunyi prasasti itu adalah sebagai berikut :
lawase rajeg wesi duk pinerp kapeteg dene wong
medang ki hempu rama karubuh alabuh geni harbut bumi kacaritane babajang mara
mari setra hanang tang bango 1363Ç
b.
Fragmen
Sudamala
Relief
ini terletak di bagian selatan pelataran teras ketiga dan bersumber dari Kidung
Sudhamala. Cerita Sudamala mengisahkan tentang Sadhewa, salah satu dari satria
kembar di antara kelima satria Pandawa, yang berhasil meruwat (menghilangkan
kutukan) dalam diri Dewi Uma, istri Bathara Guru. Dewi Uma dikutuk oleh
suaminya karena tidak dapat menahan kemarahannya terhadap suaminya yang minta
untuk dilayani pada saat yang menurutnya kurang layak. Karena menunjukkan
kemarahan yang meluap-luap, Sang Dewi dikutuk dan berubah wujud menjadi seorang
raksasa bernama Bathari Durga. Bathari Durga yang menyamar sebagai Dewi Kunthi,
ibu para Pandawa, mendatangi Sadewa dan meminta satria itu untuk meruwat
dirinya. Kisah tersebut dituangkan dalam lima panel relief.
Relief
pertama menggambarkan Dewi Kunti palsu yang merupakan penyamaran Bathari Durga
yang mendatangi Sadewa dan meminta satria itu ‘meruwat’ (menghilangkan kutukan)
dirinya. Relief kedua menggambarkan ketika Bima, kakak Sadewa, berperang dengan
seorang raksasa. Tangan kiri Bima mengangkat tubuh raksasa, sedangkan tangan
kanannya menancapkan kuku Pancanaka (senjata pusaka Bima) ke perut lawannya.
Pada relief kedua juga terdapat prasasti
lengkap dengan angka tahun, dipahat pada sudut kiri atas. Prasasti itu terdiri
atas tiga baris. Bunyi prasasti itu adalah sebagai berikut : Padamel rikang buku tirta sunya 1361.
Relief
ketiga menggambarkan Sadewa, yang menolak untuk ‘meruwat’ Bathari
Durga, diikatkan ke sebuah pohon. Di hadapannya berdiri Bathari Durga yang mengancamnya
dengan menggunakan sebilah pedang. Relief keempat menggambarkan pernikahan
Sadewa dengan Dewi Pradhapa yang dianugerahkan kepadanya karena berhasil
‘meruwat’ Bathari Durga. Relief kelima menggambarkan Sadewa beserta
pengiringnya menghadap Dewi Uma yang telah berhasil diruwat.
c.
Fragmen
Bima Bungkus
Dewi
Kunti melahirkan bayi Bima di hutan Mandalasana di atas batu kumalasana yaitu
sebuah batu kali atau batu sungai yang besar. Anehnya bayi Bima terlahir masih
terbungkus kulit ari yang luar biasa kuat, liat dan tak bisa sobek. Itu membuat
ayahnya, yaitu Pandu dan seluruh keluarganya resah dan bingung. Segenap alat
dan senjata tak mampu menyobek atau memecahkan kulit ari yang membungkus bayi
Bima.
Abiyasa
kakek Bima sudah mengetahui bahwa proses kelahiran Bima yang terbungkus itu
sebetulnya merupakan proses penggemblengan dari para dewa agar Bima nantinya
akan menjadi ksatria sejati penegak dharma. Abiyasa meminta Dewi Kunti dan
seluruh dayangnya meninggalkan hutan itu dan membiyarkan bayi Bima sendirian di
atas Batu.
Di
Balai Marcukundha-kahyangan para dewa sedang membicarakan kelahiran Bima.
Bethara Guru dan permaisurinya Bethari Uma dihadap Bethara Narada, Bethara
Bayu, Gajahsena, dan dewa lainnya. Bethara Guru memutuskan mengutus Bethari Uma,
Bethara Narada, Bethara Bayu, dan Gajahsena supaya turun ke hutan Mandalasana
dan membuka kulit ari yang membungkus bayi Bima.
Rombongan
para dewa itu sampailah di hutan Mandalasana, mereka menemukan bayi Bima yang
masih terbungkus kulit ari tergeletak di atas batu besar tanpa ada yang
menunggu. Bethari Uma segera melaksanakan perintah Bethara Guru, ia menembus
masuk ke dalam kulit ari bayi Bima tersebut secara gaib dan memasang pakaian
“Busana Bang Bintulu” kepada si bayi.
Setelah
itu Bethara Narada memerintahkan Gajahsena merobek bungkus bayi itu dengan
gadingnya. Gajah putih menusukkan gadingnya, dengan sekali tusuk, kulit
pembungkus bayi itu robek. Keluarlah bayi dari pembungkusnya dan sudah
berpakaian poleng. Terkena udara bebas, Bima mendadak tumbuh besar menjadi
seorang pemuda. Tanpa diduga si bayi menendang dengan keras gajah putih yang
berdiri di hadapannya. Gajahsena terpental terkena tendangan Bima, gajah itu
berubah menjadi asap dan masuk ke dalam tubuh Bima, menyatu menjadi kesaktian
Bima.
d.
Fragmen
Nawaruci
Relief
Nawaruci / Bima Suci yang terpahat di
candi sukuh merupakan sebuah cerita yang bersumber dari Kitab Nawaruci atau
disebut juga Kitab Sang Hyang Tattwajnana karya Empu Siwamurti, ditulis antara
tahun 1500-1619 Masehi menggunakan bahasa Jawa Tengahan yaitu bahasa yang
muncul saat kejayaan Majapahit.
Fragmen
ini mengisahkan Bima mencari tirta pawitra sari (air suci) atas
petunjuk Durna. Air suci itu berarti
bahwa Bima ingin menyatu kembali kepada asalnya (Moksa). Air suci tidak ditemukan tidak di jagad
gedhe namun ada di dalam diri Bima sendiri, yang digambarkan dengan wujud
Bima Kathik yang disebut Dewaruci. Pada saat Bima berada di gua
garbha Dewaruci ia melihat samudra agung tanpa batas (samudra minang
kalbu), ia tidak mengetahui arah dan menemukan kekosongan (awang uwung).
Kekosongan tersebut sebagai lambang kedewataan yang disadari Bima bahwa pada
hakikatnya ia berasal dari Tuhan.
Ketika
itu Bima merasa kecil bila berhadapan dengan Dewaruci. Hal ini memberikan
pemahaman bahwa manusia sangat kecil sekali, baik kekuasannya, kepandaiannya,
kebijaksanaannya, keberadaannya bila berhadapan dengan Tuhan, sebagai
konsekuensinya manusia harus secara sadar berhubungan, manembah,pasrah
sumarah kepada Sang Hyang Wenang dengan jalan manusia harus berbuat sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Pada
waktu Bima berada di gua garbha Dewaruci ia menyaksikan berbagai
peristiwa seperti:
(1)
Pada raga manusia terdapat panca indra yang mampu menanggapi ciptaan-Nya.
Tanggapan akan ciptan- Nya tersimpan rapi di dalam hati sanubari manusia, yang
menjadi wadah semua tanggapan itu dalam bentuk bayangan beraneka
warna. Warna itulah simbol isi hati sanubari jiwa manusia sebagai
pola-pola pengalaman kehidupan manusia (sastra cetha tanpa tulis), menuntun
raga manusia menuju kemuliaan sejati.
(2) Catur
Warnasebagai pencerminan pangkal batin manusia dan mewarnai perangai manusia,
yaitu terdiri dari:
(a)
warna hitam lambang kegelapan, kebodohan, dan kegusaran
(b) warna merah melambangkan tindakan yang didasarkan
atas hawa nafsu dan tidak bijaksana
(c) warna kuning melambangkan tindakan manusia
menuju ke perusakan dan merintangi keselamatan
(d) warna putih melambangkan kesucian dan
kebahagian sejati.
Jadi
melalui fragmen Bima Suci/Dewaruci/Nawaruci yang ada di Candi Sukuh kita
dapat memahami bahwa keberadaan manusia di dunia tidaklah ada dengan sendirinya
namun diciptakan Tuhan. Sifat Tuhan adalah transenden, sedangkan manusia
sebagai mahluk adalah imanen. Manusia sekali waktu perlu ber – nawaruci
yaitu nutupi babahan hawa sanga (= nawa) = menutupi sembilan
lubang yang ada dalam diri manusia agar menjadi suci dan “mati sajroning
urip, urip sajroning mati” atau dengan kata lain melaksanakan Brata
(mengekang hawa nafsu) agar bisa bersatu
dengan Tuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar